Belajar
Mengilmui Sholawat
Kita membaca Sholawat mungkin
sendiri di kamar, di perjalanan atau ketika sedang larut dalam
pekerjaan. Mungkin pula kita membacanya secara berjamaah di surau-surau
atau pada acara-acara tertentu di kampung kita. Umumnya orang tidak
hanya membaca Sholawat tetapi juga qoshidah, wirid atau dzikir yang
kesemuanya merupakan karya para auliya atau pujangga lslam yang telah
diwariskan secara turun-temurun sejak berabad-abad yang lalu melalui
tradisi Maulid Nabi, pepujian di musholla-musholla atau ditempat dan
acara lainnya. Qosidah bisa bermuatan Sholawat , dzikir atau wirid atau
juga kalimat-kalimat ungkapan cinta kepada Allah Swt, Nabi Muhammad Saw
atau kepada lslam itu sendiri. Adapun wirid atau dzikir adalah
kata-kata yang diungkapkan untuk mengingat Allah, menghayati
keagungan-Nya, meminta atau memohon sesuatu kepada-nya. isinya bisa
diambil dari ajaran langsung Allah Swt atau merupakan kreasi atau
ciptaan hamba-hamba-Nya.
Kali ini kita memfokuskan diri
untuk membicarakan Sholawat secara umum. Tetapi terlebih dahulu kita
catat dan tegaskan satu hal mendasar mengenai Sholawat sebelum
mengembarai sisi-sisi lainnya. Sebagaimana shalat, puasa, zakat, haji
dan jenis ibadah lainnya, Sholawat itu bukan agama dan bukan tujuan dari
apa yang kita lakukan itu sendiri. Sholawat hanya berposisi - seperti
shalat, puasa, zakat, dan haji – sebagai alat dan cara untuk
mengantarkan kita pada tujuan sejati yakni dekat dengan Allah serta
berdampingan dengan Rasulullah Saw. Meskipun tentu saja Sholawat tidak
berkedudukan seperti ibadah shalat dan puasa yang mahdhoh dan merupakan
rukun lslam. Sholawat merupakan thoriqoh atau jalan untuk
mengintensifkan dan memperdalam hubungan batin kita dengan, pertama
Allah Swt dan kedua Rasulullah Saw. Oleh karena itu yang terpenting dan
yang menjadi tolak ukur adalah apakah dengan metode-metode Sholawat ini
kita menjadi makin dekat dengan Allah dan Rasulullah atau tidak.
Karena
tidak ada seseorang yang sungguh-sungguh sanggup dan bisa menilai orang
lain maka kita sendirilah yang dalam hati dan batin kita masing-masing
harus memacu menggembalakan diri sendiri dan rajin meniti perkembangan
mutu hubungan kita dengan Allah dan Rasulullah. Maka makin banyak kita
mengingat Allah dan Rasulullah dengan dan dalam Sholawat makin
bermanfaatlah apa yang kita lakukan dengan Sholawat-Sholawat yang kita
baca.
Allah Pelopor Gerakan Sholawat
Sholawat
merupakan ungkapan cinta kepada Rasulullah Saw, yang dipelopori
langsung oleh Allah Swt sendiri kemudian dikembangkan oleh para pecinta
Muhammad Saw. Lewat ayat: lnnalloha wa malaikatahu yusholuna alan
nabiyyi ya ayyuhal ladzina amanu sholu alihi wa sallimu taslima: Alloh
menyuruh kita untuk bersholawat kepada Nabi Mumammad sambil Ia
tegaskan, bahwa perintah ini pun Ia sendiri (bersama malaikat-Nya) yang
memelopori perwujudannya. Ia berbeda dengan perintah-perintah Allah
lainnya. Kalau kepada hamba-Nya, Ia menyuruh bersembahyang. Allah
sendiri tidak perlu bersembahyang. Kalau Allah memerintahkan hambanya
untuk berzakat, Allah sendiri tentu tidak perlu berzakat. Kalau Allah
meminta kita untuk berpuasa, Allah sendiri tentu tidak terkena kewajiban
berpuasa. Allah tidak melakukan apa yang diperintahkan Dirinya kepada
hamba-hamba-Nya.
Tetapi khusus dalam soal Sholawat Allah berpenampilan
agak berbeda. la yang menyerukan, Ia yang memberi contohnya. Allah
beserta para malaikat-Nya bersholawat kepada Rasulullah Saw. Demikian
besar dan agungnya cinta Allah kepada kekasih-Nya yang bernama Muhammad
itu sehingga Ia sendiri mau bersholawat kepadanya dengan memposisikan
diri bukan hanya sebagai yang punya perintah tapi juga sekaligus
pelopornya.
Tak hanya itu, kita juga perlu melihat cintanya Allah
kepada Muhammad dari kenyataan bahwa: kalau kita bersembahyang kita
mempunyai dua kemungkinan, diterima oleh Allah atau tidak. Begitu juga
kalau kita berpuasa, berzakat atau mengerjakan ibadah yang lainnya.
Tetapi kalau kita bersholawat itu pasti diterima oleh Allah sekaligus
pasti sampai kepada Rasulullah. Dari sisi kita - hamba Allah dan umat
Muhammad - Sholawat merupakan ungkapan terima kasih tiada tara kepada
Rasulullah Saw yang telah memandu dan memimpin perjalanan kaum Muslimin
kepada Allah Swt. Ungkapan cinta kita kepada Rasulullah itu sekaligus
juga merupakan perwujudan cinta kita kepada Allah. Mustahil kita
mencintai Allah Swt, tanpa mencintai Rasulullah Saw. Sebab
Rasulullah-lah hamba yang paling dicintai oleh Allah.
Rasulullah
Hadir itu Bukan Khayalan
Ketika kita bersholawat kepada
Rasulullah Saw maka pada majelis itu Rasulullah hadir. Dan barang siapa
yang berada di suatu tempat di mana Rasulullah hadir maka keseluruhan
ruang tersebut bebas dari adzab. Orang barangkali tidak mempercayai
kalau Rasulullah itu hadir dengan beranggapan beliau sudah wafat. Jasad
atau badan-nya sudah pulang menyatu kembali dengan hakikatnya yakni
tanah. Akan tetapi ruh atau ruhani Rasulullah tetap hidup dan hadir.
Kita tidak bisa memandang Rasulullah dengan kaca mata materialisme bahwa
segala sesuatu harus bisa dilihat dengan mata wadag, bahwa semuanya
harus bisa dipanca-indrai dan bahwa kalau segalanya tak bisa
dipanca-indrai maka sesuatu itu tak ada alias tak maujud, melainkan
harus dengan kaca mata ruhaniah. Dengan demikian ketika kita mendengar
kalimat bahwa Rasulullah hadir kita tidak lagi menganggapnya sebagai
sesuatu yang khayal atau mustahil.
Rasulullah Jauh atau Dekat
Sama
cara berfikirnya dengan keterangan tentang Rasulullah hadir itu khayal
atau tidak, kalau kita membicarakan apakah Rasulullah itu jauh atau
dekat maka mata pandang dan ukuran kita bukanlah pandangan geografis
dan fisik, melainkan ruhani. Untuk itu kita harus mengacu pada ayat: Laqod
jaakum rosulun min anfusikum azizun alaihima anittum harishun alaikum
bil mukminina roufur rohiim. Sungguh benar-benar telah datang di
tengah-tengah kalian seorang Rasul dari kalanganmu sendiri, yang sangat
tak tega menyaksikan penderitaan kalian, amat perhatian terhadap kalian,
belas-kasih terhadap orang-orang yang percaya.
Segera
kita catat dari ayat tersebut bahwa, pertama Rasulullah itu orangnya
tidak tegaan. Kalau kita menderita, Rasulullah sangat ikut menderita
dan bersedih. Bila kita susah, maka Rasulullah-lah yang pertama-tama
turut merasakan kesusahan itu.
Kedua, Rasulullah itu langsung
diberi oleh Allah dua sifat yang diambil dari sifat-Nya yaitu roufur-rohiim.
Kalau umumnya kita memakai sifat Allah misalnya untuk kepentingan
memberikan nama maka kita hanya diizinkan menggunakannya dengan syarat
harus diimbuhi dengan misalnya kata Abdul. Misalnya: Abdul Malik,
Abdurrahman, Abdul Aziz dan seterusnya. Tetapi khusus untuk Rasulullah,
Allah memberinya sifat kepada Beliau dengan dua sifat-Nya yakni
roufur-rohiim. Tentu saja Allah memahkotainya dengan dengan dua sifat
tersebut karena memang Rasulullah layak menyandang dua sifat itu. Karena
kepribadian Rasulullah sangat mencerminkan mutu sifat itu, lebih-lebih
dalam hubungannya dengan umatnya. Jadi kedekatan Rasulullah itu
sedemikian dalamnya dan sedemikian ruhaniahnya. Begitulah kualitas
pribadi dan cinta Rasulullah kepada kita.
Segitiga Cinta
Seraya
menegaskan kepada sudara-saudara kita yang barangkali cemas kepada
sholawat bahwa pertama, sholawat itu tidak menuhankan Muhammad. Kedua,
sholawat itu tidak menganggap Muhammad sebagai anak Tuhan. Kita
mempelajari bahwa sesungguhnya yang terjadi adalah adanya segitiga
cinta. Di titik atas ada Allah, di titik kanan ada Muhammad Saw dan di
titik kiri ada kaum Muslimin. Masing-masing titik itu disambungkan oleh
garis sedemikian rupa sehingga terbentuk segi tiga. Dan segi tiga itu
akan bermuatan cinta, sehingga bisa disebut segitiga cinta. Nah,
sekarang kita lihat. Pada garis pertama, antara Allah dengan Rasulullah.
Allah sangat mencintai Muhammad Saw dan sebaliknya Muhammad pun sangat
mencintai Allah sehingga beres aliran cintanya. Kemudian pada garis
kedua antara Allah dengan kaum Muslimin, Allah sangat mencintai kita,
tetapi kita kadang ogah-ogahan kepada Allah. Sehingga Allah sering
mengeluh, "Lho, Engkau ini bagaimana wahai jin dan manusia, Aku yang
menciptakan Engkau, tapi Engkau menyembah yang selain Aku. Aku yang
memberimu rizki tapi kamu berterima kasih kepada yang selain Aku."
Lantas
garis yang ketiga, antara Muhammad dengan kita. Muhammad sangat
mencintai kita. Muhammad melakukan tirakat untuk kita dan agar doanya
tentang kita dikabulkan oleh Allah, Muhammad menempuh pengabdian
sedemikian rupa supaya Allah pakewuh (merasa tidak enak) kepada
Muhammad tertama yang menyangkut nasib kita. Mengapa demikian? Selain
Allah pada pihak pertama, Muhammad juga punya kekasih berikutnya yaitu
para sahabat. Yakni mereka yang hidup sejaman dan pernah bertemu dengan
Rasulullah semasa hidupnya. Sedangkan yang tidak bernasib seperti
sahabat alias yang hidup sesudah Rasulullah wafat itu bernama umat
lslam.
Para sahabat sudah jelas nasibnya. Mereka hidup
bersama-sama dengan Rasulullah berjuang dan lara lapa (menderita).
Rasulullah sangat mencintai mereka dan selalu mendoakan mereka. Lantas
bagaimana dengan umat lslam ini yang hidup setelah ditinggal wafat
Rasulullah. Siapa yang mendoakan mereka?
Nah, Rasulullah itu
tidak tega untuk meninggal dunia tanpa meninggalkan atau mewariskan
mekanisme kabulnya doa atas nasib kita semua. Jadi bagaimana Allah akan
mengabulkan doa kita kalau kita tidak melangsungkan lalu lintas segi
tiga cinta itu. Dengan begitu mencintai Muhammad yang misalnya kita
ungkapkan lewat sholawat adalah penyikapan yang logis, adil dan
sewajamya saja terhadap kasunyatan perhubungan cinta antara Allah,
Muhammad dan kita.
Demikianlah doa kita akan sampai arusnya kepada
Allah kalau melewati Muhammad. Sebab bagaimana mungkin Allah
mengabulkan doa kita kalau kepada kekasih-Nya kita bersikap acuh tak
acuh. Allah ini sangat pencemburu dan romantis. Allah menghendaki
keindahan pergaulan antara diri-Nya, Kekasih-Nya dan kita.
Sholawat
membikin Akal Basah oleh Hati dan Hati Tegak oleh Akal
Untuk
menjelaskan kalimat di atas kita memakai acuan salah satu ayat suci
Al-Qur’an yang sudah sangat terkenal yakni La Yamassuhu lllal
Muthohharun. Ayat ini lazimnya ditafsir secara fisik bahwa kalau
kita sedang batal alias dalam kondisi tak berwudhu maka tidak
diperbolehkan untuk menyentuhnya (Al-Qur’an). ltu benar sekali,
terutama dari segi fiqih. Tetapi mari kita luaskan makna dan tafsir
ayat tersebut misalnya dengan memahaminya begini: Kita tidak akan bisa
bersentuhan dengan makna, hikmah, rizqi, barokah dan segala macam
kandungan Al-Qur’an, jika kita tidak mengusahakan diri kita untuk
terlebih dahulu muthohhar atau tersucikan. Tersucikan itu
bahasa lainnya adalah tercerahkan. Dan soal cerah mencerahkan ini Allah
sudah sejak dulu menawari manusia untuk bisa mencerahkan diri.
Tercerahkan di bidang apa? Kita lihat dulu secara sederhana struktur
jiwa manusia.
Dalam jiwa manusia ada tiga sisi atau unsur terpenting
yakni akal, spiritual, dan mental. Oleh karena itu bisa dikatakan
bahwa ketercerahan itu meliputi tiga sisi tersebut. Jadi tercerahkan
secara akal atau muthahhar aqliyah, tercerahkan secara
spiritual atau muthahhar ruhiyyah dan tercerahkan secara mental
atau muthahhar nafsiyyah. Ketiganya akan memproduk
ketercerahan akhlak atau muthahhar akhlaqiyyah. Umumnya orang
hanya memiliki sebagian saja dari ketercerahan tersebut. Ada yang
tercerahkan secara aqliyyah tetapi tumpul secara spiritual dan mental.
Ada yang tercerahkan secara spiritual (mletik hatinya), tetapi gagap
secara intelektual alias sempit wawasannya serta tidak kokoh mentalnya.
Juga tak ketinggalan ada yang tercerahkan secara mental tapi buta secara
intelektual dan spiritual.
Demikianlah kalau kita tidak
mengupayakan diri agar utuh ketercerahannya maka kita akan tidak bisa
bersentuhan dengan Al-Qur'an. Nah, bersholawat adalah salah satu jalan
untuk mengutuhkan ketercerahan itu, agar kaffah. Agar tak cuma sesisi
saja. Sholawat membikin akal basah oleh hati dan hati tegak oleh akal.
Sholawat
Metode mengambil jarak dari Kesibukan Kerja Keras Sehari-hari.
Ketika
kita suntuk bekerja atau melakukan sejumlah pekerjaan entah yang rutin
atau yang tidak, umumnya kita mempunyai kecenderungan untuk capek,
jenuh dan yang terpenting barangkali juga potensial mengidapkan pada
diri kita keterasingan tertentu terhadap apa yang kita kerjakan. Pada
saat seperti itu yang kita perlukan tak sekedar istiharat dan rekreasi,
tetapi yang terpokok adalah pengambilan jarak terhadap situasi dan
keadaan semacam itu agar kita bisa lebih mengendapkan batin dan
pikiran, supaya segar jiwa kita dan siap melanjutkan pekerjaan-pekerjaan
berikutnya. Demikian siklus wajar kemanusiaan yang dialami oleh orang.
Dalam memenuhi kebutuhan untuk rekreasi dan pengambilan jarak itu orang
menempuh banyak hal mulai yang positif sampai yang negatif. Yang
positif misalnya orang pergi rekreasi menikmati suasana alam di pantai
atau di gunung, plesir ke luar kota dan sebagainya. Yang negatif
umpamanya orang menenggak minum-minuman keras, atau berjudi. Nah,
sholawat hadir sebagai salah satu pilihan yang berposisi praktis,
berdimensi dunia akherat langsung, dalam memenuhi kebutuhan untuk
pengambilan jarak tersebut. Meskipun tentu saja ini hanya satu sisi
belaka dari sekian dimensi sholawat yang sudah ada dan akan diuraikan
singkat dalam tulisan ini.
Sholawat juga jauh lebih positif
secara medis, moral-sosial, keilmuan dan ukhrawi daripada menenggak
narkoba atau bahkan dibanding nonton film sekalipun. Dengan menikmati
sholawat-sholawat kita akan memperoleh kenikmatan dan kepuasan batin
yang lnsya Allah lebih ruhaniah dan sejati. Sholawat merupakan jalan
yang lebih selamat dan menyelamatkan ditinjau dari berbagai sisi dan
sudut.
Sholawat Membuka llmu
Sekarang
kita memasuki sisi lain dari Sholawat. Selain sebagai jalan untuk
mengintensifkan cinta kita kepada Rasulullah, Sholawat juga memberi
peluang bagi terbukanya pintu-pintu ilmu. Lihatlah misalnya Sholawat
Nurul Musthofa. Musthofa itu artinya terpilih. Nurul Musthofa itu
berarti cahaya yang terpilih. Dan inilah makhluk Allah yang pertama.
Makhluk Allah Swt yang pertama ini adalah seberkas cahaya yang dinamai
Nur Muhammad. Allah sangat mencintai makhluk pertama ini sedemikian rupa
sehingga Allah mempunyai alasan untuk menciptakan alam semesta beserta
isinya termasuk kita semua. Allah mengatakan dalam hadist qudsinya, lau
laka ya Muhammad ma kholaqtu al aflaka jika tidak karena
engkau Muhammad - maksudnya cahaya tadi- maka aku tidak akan ciptakan
apapun yang lain. Kelak cahaya ini akan diwujudkan oleh Allah secara
biologis, sosiologis dan historis menjadi Muhammad Saw. Artinya
diwujudkan sosoknya, sepak terjangnya dan sejarah hidupnya. Jadi ada
beda antara Muhammad jasmaniah dan Muhammad ruhaniah.
Dari
Sholawat Nurul Musthofa, selain kita peroleh keindahan dan kenikmatan
bercinta dengan Muhammad, kita juga peroleh ilmu pengetahuan. Ilmu
tentang apa? Ialah ilmu tentang sejarah penciptaan alam semesta. Yang
barang kali ilmu pengetahuan modern sekarang ini belum mencapai dan
mengatakannya. Bahwa makhluk pertama yang diciptakan oleh Allah bukan
siapa-siapa melainkan Nur-Muhammad tadi.
Sholawat Membuka
Cara Pandang
Sesudah membuka pintu rahasia ilmu, Sholawat
juga memungkinkan kita untuk memperoleh cara pandang atau yang lazim
disebut perspektif. Maksudnya dengan menghikmahi sholawat, kita bisa
menjadikan Sholawat sebagai pintu pengantar untuk merenungi segala
sesualu yang terjadi dalam hidup kita. Lihatlah misalnya sholawat lnna
Fil Jannah.
lnna fil jannati nahran min laban, li aliyyin wa
husainin wa hasan : Sesungguhnya di surga terdapat sungai yang
terbuat dari air susu. Yang diperuntukkan bagi Ali, Hasan, dan Husain.
Hasan dan Husain itu putra Ali bin Abi Thalib yang terbunuh di
peperangan antar ummat lslam. Bahkan Sayyidina Hasan diracun oleh
istrinya sendiri. Sehingga sejelek-jelek nasib kita masih menderita
Sayyidina Hasan dan Husain.
Dari Sholawat ini tinggal kita
cari proyeksinya dalam hidup sehari-hari kita. Artinya sesungguhnya
kita mempunyai potensi ke-Hasan-an dan ke-Husain-an sendiri-sendiri di
berbagai bidang kehidupan kita masing-masing. Dan kalau kita mengalami
kedhoifan, kemustadh’afinan, keghoriban (keterasingan) dan kemazhluman
(terzholimi) sebagaimana yang menimpa diri Sayyidina Ali, Hasan dan
Husain, maka itu berarti Allah menjanjikan sungai susu di surga.
Sebagaimana dalam kasus Abu Bakar menebus Bilal dari perbudakan
Abu Jahal, maka dalam kehidupan sehari-hari, kita bisa membatin dan
mendiskusikan sekarang ini, siapa Hasan dan Husain-nya? Abu Jahal-nya
siapa? Orang ini akan menjadi Hasan dan Husain atau Abu Jahal dan
seterusnya. Demikianlah Sholawat-Sholawat mempunyai relevansi dengan
kehidupan kita.
Sholawat: Kenapa harus dengan Alat Musik?
Pembacaan
Sholawat pada acara-acara tertentu biasanya diiringi dengan (alat)
musik. Kenapa memakai musik? Karena musik berhak masuk surga. Seluruh
peralatan-peralatan musik itu kita ajak mencintai Rasulullah. Kita
tidak egois dalam bersholawat. Jadi, prinsipnya sangat sederhana. Bukan
soal mencampur-adukkan antar seni dan agama. Sebab perlu diketahui
begitu agama lahir belum terbedakan, apakah ini seni atau agama. Pada
awalnya tak ada beda antara keduanya.
Kata seni baru muncul
ketika orang-orang (modern) mencoba menarik dan mengambil jarak dari
dirinya sendiri kemudian menatapnya dari kejauhan., lantas mereka
mengatakan dan merumuskan dirinya sendiri seraya memunculkan nama-nama
untuk memberi tanda bagi bagian-bagian hidupnya. Maka muncullah
istllah: ini seni, ini sosial, ini hukum dan lain seterusnya. Dalam
keberagaman yang total sudah tak terasa lagi apakah ini agama atau seni.
Yang menjadi masalah dan tentunya adalah apakah sesuatu itu benar atau
tidak? Apakah sesuatu itu semakin mendekatkan kita kepada Allah dan
Rasul-Nya atau tidak?
Sholawat: Merintis Perlawanan Terhadap
Dajjalisme
Kita tentu pemah mendengar nama Dajjal. Dajjal
itu salah satu pekerjaannya adalah membelah dunia dan kehidupan manusia
menjadi dua kutub. Dua kutub inilah yang menjadi poros dan titik tolak
dari cara pandang dan cara tindak banyak orang. Ada Timur ada Barat.
Ada Utara ada Selatan. Ada atas ada bawah. Ada pusat ada pinggiran. Dan
seterusnya. Kutub-kutub ini sangat rentan untuk membenihkan bibit-bibit
perlawanan antar penghuni kutub, membenihkan bibit-bibit kerusakan di
antara mereka. Dajjal adalah pelaku utama yang memberikan dan menentukan
apa muatan yang musti dikandung bibit-bibit itu. Pengkutuban ini
berlaku di berbagai bidang kehidupan manusia, mulai dari ekonomi,
sosial, budaya, politik, dan seni. Dalam kesenian misalnya pengkutuban
tersebut bisa terlihat dari adanya mekanisme produsen konsumen,
pedagang-pembeli, penonton-yang ditonton.
Dalam acara-acara
Sholawat kita mencoba untuk tidak memakai cara berpikir seperti
pertunjukkan dengan menghancurkan batas antara keduanya. Tak ada
penonton, tak ada pementasan. Yang ada adalah kebersamaan, saling
mensubyeki acara Sholawat. Artinya, kita semua adalah satu himpunan,
satu keluarga. Tidak sebagaimana dalam pertunjukkan modern itu. Itulah
beda antara acara Sholawatan (yang bersama-sama) dengan dunia seni
modern.
Sholawat: Fungsi Secara Biologis dan Medis
Orang
lain boleh percaya atau tidak tentang satu hal ini. Bahwa Sholawat itu
mempunyai fungsi biologis dan medis. Dengan membaca dan menikmati
Sholawat, kita apalagi dengan berjamaah, kita akan memperoleh
regangan-regangan otot dan pencerahan-pencerahan urat syaraf serta
pembersihan sel-sel otak. Kita mencoba merasakan dan membuktikan hal
itu. Sama dengan kalau kita bersujud. Kita meletakkan kening kita di
tanah. Debu-debu tanah yang menyentuh dan mengenai dahi kita itu akan
membersihkan kotoran-kotoran elektronik di dalam otak kita. Sehingga
semakin rajin kita bersujud akan semakin jemih pikiran dan otak kita.
Kecuali jika kita merusaknya lagi. Di sini letak pentingnya ilmu. Banyak
orang bersembayang tetapi tetap saja rusak dan tidak menghasilkan
munculan-munculan yang bermanfaat di masyarakat. Apa pasalnya? Soalnya
mereka bersembahyang tanpa dilandasi dan dilengkapi dengan ilmu - dalam
pengertian yang lebih luas dari fiqih. Mereka hanya menjalani dan
mengalami rahmat shalat tapi tidak mengilmui-nya sehingga yang lahir
bukannya barokah melainkan ketidakmanfaatan dan ketidak-kaffahan dalam
menempuh hidup. Itulah sebabnya di samping melakukan dan menikmati
(rahmat) Sholawat, kita juga mengembarai cakrawala ilmu Sholawat yang
amat luas, mulai dari yang sederhana sampai yang menyangkut hal-hal
medis dari Sholawat yang orang lain belum tentu menyetujuinya, agar
bukan hanya rahmat yang kita punya, tapi juga barokah - sebagaimana
tulisan ini diniatkan dan tujukan.
wallohu a'lam.
